Daininki Idol na Classmate ni Natsukareta, Isshou Hatarakitakunai Ore Volume 1 Chapter 27

 

Chapter 27: Mereka yang khawatir (Bagian 4) 


 Aku sedang berdiri di tengah aula pesta yang ramai dan berisik.

 AAH, mimpi itu lagi, huh――――

 Sambil berfikir seperti itu, aku hanya melihat pemandangan yang sama seperti sebelumnya.

 Percakapan antara ayah.

 Sebuah kesalahan kecil yang dibuat olehku dan gadis kecil itu.

 Dan ketika itu berakhir, mimpi itu juga berakhir.

 "――ro――――Rintaro!"  (Rei)

 Aku merasa namaku dipanggil, dan perlahan aku membuka mata. 

 Hal pertama yang aku lihat adalah sebuah tirai emas. Kemudian aku segera menyadari bahwa ternyata itu adalah rambutnya.

 "Rei...?"  (Rintaro)

 "Aku pulang. Apakah kamu baik-baik saja?"  (Rei)

 "Ee, Y-ya ......" (Rintaro)

 Rupanya, aku tertidur di sofa begitu sampai di rumah.

 Karena aku tertidur masih menggunakan seragam, itu menjadi sedikit kusut.

 "Aku akan menyetrikanya nanti....... Maaf, sekarang jam berapa?"  (Rintaro)

 "Sekitar pukul 19.00."  (Rei)

 "Ah......, maaf, aku tidak sempat menyiapkan makanan. Bisakah kamu menunggu sebentar? Aku bisa membuat udon atau pasta jika kamu mau."  (Rintaro)

 "Udon, kedengarannya bagus. Tapi sejujurnya...... aku juga tidak terlalu nafsu makan hari ini."  (Rei)

 "......Begitu ya."  (Rintaro)

 Ekspresi Rei terlihat sedikit kurang bersemangat.

 Mungkin sesuatu terjadi selama pertemuan tripartit.

 "Tunggu di sini sebentar. Itu akan siap dalam waktu sekitar lima belas menit."  (Rintaro)

 "Aku mengerti, dan terima kasih seperti biasanya."  (Rei)

 "Ini adalah kesepakatannya. Jadi, jangan khawatir tentang hal itu."  (Rintaro)

 Aku bangkit dari sofa dan kemudian berjalan menuju dapur.

 Aku mengambil dua mie udon beku, mencairkannya dan kemudian merebusnya, sambil membuat sup untuk mienya. 

 Aku menaruh sedikit daun bawang dan tahu goreng di atasnya, dan sudah siap untuk disajikan.

 Aku meletakkan mangkuk di depan Rei yang sedang duduk di sofa dan meletakkan sumpitnya di atasnya.
 
 "Sudah siap."  (Rintaro)

 "Baunya sangat enak."  (Rei)

 "Jika kamu ingin tambah lagi, beri tahu saja aku. Aku masih punya mie udon banyak. (Rintaro) 

 "Aku mengerti. Kalau begitu, selamat makan."  (Rei)

 Aku duduk di sebelahnya, mengambil mangkuk bagianku, dan menyeruput udonku.

 Ya, rasanya sungguh menenangkan.

 Daun bawangnya harum dan tahu gorengnya mengeluarkan jus di setiap gigitan.

 Ini memang tidak selezat yang aku harapkan, tetapi rasa lembutnya secara bertahap menenangkan pikiranku.

***

 Setelah kami selesai makan malam kami, kami berdua duduk di sofa dan mulai menonton TV.

 Bukan karena ada program ingin kami tonton.

 Kami hanya menyalakannya dan melihat acara secara acak untuk memberikan waktu istirahat bagi diri kami sendiri.

 Di layar, ada seorang komedian muda yang memukau studio.  Aku sering melihat orang ini akhir-akhir ini―――― pikirku, dan melirik ke samping ke wajah Rei.

 "Apakah kurangnya nafsu makanmu berhubungan dengan ...... masalah yang kamu sebutkan tempo hari."  (Rintaro)

 "Mm...... Bagaimana kamu bisa tahu?"  (Rei)

 "Ini mungkin hanyalah sebuah firasat. Tapi aku jarang melihatmu begitu merenung, jadi kupikir mungkin begitu."  (Rintaro)

 "......itu benar."  (Rei)

 Sebuah desahan bocor.

 Jika itu masalahnya, tidak ada yang bisa aku lakukan untuk itu.

 Aku diberitahu dengan tegas pada tanggal itu bahwa tidak mungkin bagiku untuk membantunya. 

 "Ayahku akan datang untuk melihat konser langsung berikutnya."  (Rei)

 "... hah."  (Rintaro)

 "Ayahku selalu menentang kegiatan idolku. Dia selalu ingin aku berhenti."  (Rei)

 Rei menundukkan wajah dan menyilangkan jari di pahanya.

 “Jika aku gagal dan mempermalukan diriku sendiri di konser mendatang, dia mungkin tidak akan mengizinkanku menjadi seorang idol lagi. Lalu aku akan kembali menjadi gadis normal, dan suatu hari nanti aku akan dipaksa menikah dengan seseorang yang akan bermanfaat bagi keluarga. Itulah yang...... sangat membuatku takut."  (Rei)

 Rei tampaknya berada di bawah tekanan yang berbeda dari Kanon.
 
 Aku bisa mengerti mengapa ayahnya menentangnya menjadi seorang idol.

 Idol cenderung terlibat dalam situasi berbahaya, dan terlebih lagi di zaman sekarang ini, hidup mereka dapat dihancurkan oleh api rumor yang tidak benar.  Bagaimana dia bisa tidak khawatir tentang putrinya yang menjalani kehidupan di dunia seperti itu?

 “Aku merasakan banyak tekanan di masa lalu. Tapi kali ini berbeda. Membayangkan ayahku melihatku tepat di depan matanya...... membuatku gugup, meski aku masih mempunyai waktu hampir dua minggu lagi."  (Rei)

 "Kamu tidak bisa ...... gagal, ya?"  (Rintaro)

 Rei mengangguk tak berdaya pada kata-kataku.

 Memang benar bahwa tidak ada yang bisa aku lakukan tentang masalah ini.

 Satu-satunya cara untuk mengatasi masalah ini adalah Rei mengatasi tekanan ini dan membuat konsernya sukses.

 "Aku tidak benar-benar mengerti situasi di mana kamu akan merasakan tekanan seperti itu, tapi ...... Aku tidak berpikir Rei, dalam dirinya yang biasa, akan pernah gagal."  (Rintaro)

 "Aku yang biasa, diriku sendiri....." (Rei)

 "Ya, aku tahu ini hal yang sulit untuk diatasi. Tapi satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat ini adalah menjaga kehidupan sehari-harimu seperti biasa."  (Rintaro)

 Makanan yang aku masak, cara kami berinteraksi satu sama lain. Aku tidak berpikir mereka semua memiliki arti khusus. Tapi paling tidak, aku akan memastikan bahwa kamu tidak merasakan tekanan apa pun dalam hidupmu.

 Tidak peduli seberapa keras aku mencoba, hanya itu yang bisa aku lakukan.

 "Mmm. Itu sudah cukup. Aku tahu lebih baik daripada siapa pun bahwa pada akhirnya, aku harus menjaga diriku sendiri. Tapi aku sangat senang kamu begitu peduli padaku seperti itu."  (Rei)

 "...... Aku mengerti."  (Rintaro)

 Aku tidak bisa memikirkan sesuatu yang bijaksana untuk dikatakan.

 Tinggal dua minggu lagi menuju konser.

 Yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa untuk kesuksesan Rei dan yang lainnya di konser yang akan datang.

 ◇ ◆ ◇

 Ketika Rei kembali ke kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul 23:30.

 Besok adalah hari libur karena hari Sabtu, jadi aku tidak terburu-buru untuk tidur lebih awal.

 Tapi di sore harinyaharinya nanti, aku akan membantu mengerjakan cerita pendek lain untuk Yuzuki-sensei yang akan dimasukkan dalam edisi khusus――――

 "Apakah aku bisa melakukannya, ya?"  (Rintaro)

 Aku bergumam pada diriku sendiri saat aku menyetrika seragamku.

 Ketika aku masih kecil, aku merasa bisa melakukan apa saja, seperti para pahlawan yang ada di TV.  Ini disebut rasa keserbagunaan.

 Tapi sekarang, aku sudah kehilangan perasaan itu.

 Aku sudah tahu kenyataan dan keterbatasanku.

 Masalah Kanon, masalah Kakihara, dan masalah Rei semuanya di luar kemampuanku.

 Dan kekhawatiranku juga pasti sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan.
 
 Dalam kasus seperti itu, tidak lagi dibenarkan untuk campur tangan.

 Jika kamu tidak dapat menyelesaikan masalah karena menjulurkan kepalamu ke dalamnya, itu mungkin hanya akan menyebabkan lebih banyak rasa sakit bagi kedua belah pihak.

 "...... Haaa~."  (Rintaro)

 Satu desahan besar keluar dari mulutku.

 Pada saat yang sama, notifikasi LINE muncul di layar ponselku.

 Aku merasakan déjà vu saat aku memeriksanya dan melihat nama "Ugawa Mia" tertera di sana.

 {Bolehkah aku merepotkanmu datang ke tempatmu sekarang? Aku perlu berbicara denganmu sebentar.} (Mia)

  Itu benar-benar dejavu――

 Aku membaca LINE-nya dan memikirkan pesan apa untuk membalas.

 Aku tidak bisa begitu saja menerima Kanon tapi kemudian menolak Mia.

 {Baiklah. Aku akan membukakan pintu untukmu, kalau begitu.} (Rintaro)

 {Terima kasih.  Aku akan segera ke sana.} (Mia)

 Dia membalas pesanku dalam waktu kurang dari beberapa puluh detik, dan pertukaran kami di LINE berakhir.

 Aku pergi ke pintu depan dan membukanya.

 Aku berjalan kembali ke dapur dan mulai menyeduh kopi, seperti yang sudah aku lakukan dengan Kanon.

 Aku tahu dia suka warna hitam, persis seperti aku.

 Lagipula, entah bagaimana aku merasakan kedekatan yang kuat dengan Mia.....

~•~


<<Sebelumnya|Semua|Selanjutnya>>

Dukung Kami

Related Posts