Daininki Idol na Classmate ni Natsukareta, Isshou Hatarakitakunai Ore Volume 1 Chapter 14


Chapter 14: Alasan Untuk Mimpi itu (Bagian 3)


 Terlepas dari masalah yang kami alami tadi, kelompok kami akhirnya menyelesaikan hidangan kami di urutan ketiga secara keseluruhan.  Steak hamburger, sup telur, salad, dan nasi berjajar di atas meja.  Tidak peduli bagaimana kau melihatnya, itu terlihat seperti masakan rumahan sungguhan dan sempurna.

 "Selamat makan!"

 Kami semua meletakkan tangan kami bersama-sama pada makanan di depan kami, dan mengatakannya dengan serempak.

 Yup, ini rasanya sungguh enak.

 Steak hamburger dimasak dengan baik, dan supnya memiliki tekstur dan rasa yang lembut sehingga membuatku merasa rileks.  Untuk saladnya, ukurannya agak tidak rata, tapi...... yah, karena ini salad.  Jadi, aku tidak keberatan.

 "Enak! Terutama steak hamburger ini!"  (Ryuji)

 "Ini benar-benar enak! Seperti yang diharapkan, dari Azusa!" (Honoka)

 Setelah dipuji oleh Doumoto dan Nogi, Nikaido kemudian menggaruk pipinya karena merasa malu.

 "Itu terlalu berlebihan..... Karena setengahnya ini dibuat oleh Shidou-kun......" (Azusa)

 "Ah, kamu benar! Kamu juga luar biasa! Aku menghormatimu, Bung!"  (Ryuji)

 Agak canggung, tapi aku tidak merasa buruk dipuji oleh Doumoto. Karena sejak awal dia tidak memiliki karakter yang mudah berbohong, dan terlebih lagi karena aku tahu dia saat ini tidak sedang menyanjungku.

 "Maaf karena aku tadi mengacaukan dan menghalangi kalian, tapi aku merasa senang bisa membantu kalian."  (Rintaro)

 Rasa sakit mulai menyebar perlahan saat aku mengangkat mangkuk dengan tangan kiriku yang terluka.  Aku mencoba untuk tidak menunjukkan ekspresi kesakitanku saat aku sedang berbaur dengan tawa dan mencoba yang terbaik untuk tidak merusak suasana.

 Yah pembicaraan mereka masih sama seperti anak SMA pada umumnya, seperti anak muda pada umumnya yang berada di puncak masa muda mereka.  Mereka membicarakan tentang kegiatan klub, musik favorit mereka, ujian, teman mereka yang lain, dan keluarga mereka.

 Kenapa jariku terasa semakin sakit?

 Aku bertanya pada diriku sendiri, di balik senyum pura-puraku. 

 Yang terluka hanya satu jariku.  Seharusnya hanya satu jariku. 

 Aku memberikan jawaban pada diriku sendiri, dengan senyumku yang semakin dalam.

 Ketika aku melihat kearah jariku yang terluka, aku melihat perban itu sudah berlumuran warna merah.

 Aku tidak begitu ingat apa yang terjadi setelah itu.

 Aku tidak dapat berkonsentrasi pada pelajaran kelas sore dan tidak dapat mengingat apa semua pelajaran itu, tetapi aku masih mencatatnya. Aku hanya ingin memuji diriku sendiri karena begitu rajin, melihat bahwa aku sudah mencatat semuanya dengan saksama.

 "Apakah jarimu baik-baik saja?"  (Rei)

 "Hmm? Ya, aku baik-baik saja. Nanti ini akan segera sembuh kok."  (Rintaro)

 Rei, yang makan malam di tempatku seperti biasanya, menatapku dengan perasaan sedikit khawatir dari belakangku.  Saat ini aku sedang mencuci piring. Mencuci piring memang menyebabkan air meresap ke dalam luka, tetapi berkat fakta bahwa pendarahannya telah berhenti, aku yakin ini tidak terlalu buruk.

 Setelah aku selesai mencuci piring, aku kembali lagi ke meja makan, dan untuk beberapa alasan, Rei mulai merasa sedikit gelisah.

 Dia melihat ponselnya, kemudian melihat sekeliling ruangan. Dia keliatannya seperti merasa gelisah secara tidak wajar.

 Aku mudah mengetahui perasaannya itu karena sikapnya yang tidak wajar. 

 "...... Aku pikir sepertinya kamu memiliki sesuatu yang ingin kamu tanyakan kepadaku."  (Rintaro)

 "......Apakah kamu bisa mengatakannya?"  (Rei)

 "Ini pasti tentang saat kelas memasak tadi, bukan? ...... Bahwa aku tadi melakukan hal yang sangat ceroboh."  (Rintaro)

 "Yup. Aku belum pernah melihat Rintaro memotong jarinya seperti itu sebelumnya."  (Rei)

 "Tidak, aku dulu malah biasa memotong jariku seminggu sekali saat pertama kali mulai memasak, paham?."  (Rintaro)

 "Yang barusan kamu katakan itu tadi itu, ketika kamu baru memulai memasak kan. Itu berarti sudah tidak sama lagi dengan saat ini bukan? Itulah sebabnya aku merasa itu sedikit......tidak wajar. Saat kamu tadi berbicara dengan Nikaido-san sikapmu tiba-tiba langsung menjadi aneh, jadi aku berpikir mungkin pasti ada sesuatu yang mengganggumu." (Rei)

 Perkataan Rei memang benar, dalam dua tahun terakhir ini――――Aku tidak pernah melakukan kesalahan seperti memotong jariku. Tentu saja karena maku sudah terbiasa, tetapi yang paling penting adalah karena aku selalu fokus dan berkonsentrasi saat memasak. Jadi dia merasa bahwa aku memiliki sesuatu yang menganggu di pikiranku. 

 Rupanya, Rei suda memahami diriku lebih baik dari yang aku kira.

 "Bukannya aku marah pada Nikaido atau apa. Hanya saja, ternyata emosiku lebih lemah dari yang kukira."  (Rintaro)
 
 Aku menyesap kopi yang sudah kubuat setelah makan malam dan menghembuskan napas.  Bau harum melewati hidungku, dan pikiranku yang tadinya sedikit terguncang perlahan mulai mendapatkan sedikit ketenangannya lagi. 

 "......Ceritanya ini agak sedikit membosankan, tapi apakah kamu memang ingin mendengarnya?"  (Rintaro)

 "Yup. Aku ingin tahu lebih banyak tentang Rintaro." (Rei)

 "Sungguh kamu ini memang gadis yang selalu penasaran ...... Yah, aku harap aku bisa memuaskan rasa penasaranmu."  (Rintaro)

 Sebenarnya, ini adalah masalalu yang tidak ingin aku ingat lagi――――

 Karena aku merasa isi gelap dari diriku akan muncul kembali.

 Memalingkan pandanganku ke arah bawah, aku mulai membuka mulutku.

 "Ini sebenarnya bukan cerita yang rumit. Ayahku adalah seorang yang gila kerja, dan semua orang berada di sekitarnyapun berkata demikian. Dia selalu pulang ke rumah cuma beberapa kali dalam setahun. Bahkan aku juga pernah mendengar bahwa pada saat hari kelahiranku, dia masih tetap memprioritaskan pekerjaannya."  (Rintaro)

 "......" (Rei)

 "Jadi, aku serasa sangat kesepian, tapi itu tidak sulit bagiku. Kalau saja ibuku masih tetap bersamaku."  (Rintaro)

 Aku merasakan rasa sakit yang lain didalam hatiku.

 Tapi ini terasa sedih lebih baik karena ada seseorang yang berada di depanku mendengarkan ceritaku. 

 "Ketika aku di kelas lima SD...... ibuku berjalan keluar dari rumah ketika aku pulang dari sekolah."  (Rintaro)

 Maaf untuk ini, aku hanya ingin hidup bebas――――.

 Aku masih mengingat dengan baik punggung ibuku saat dia mengatakan itu padaku tanpa berbalik.

 "Tolong jangan pergi".

 Aku bahkan tidak bisa mengatakan itu, jadi aku hanya melihat dengan syok saat orang aku panggil ibuku itu pergi meninggalkanku. 

 “Pada akhirnya, dia hanya lelah merawatku. Dan aku yakin dia juga bosan dengan ayahku yang menyerahkan segalanya kepadanya. Sejak saat itu, aku sedikit alergi pada ibuku.  Jadi ketika Nikaido bertanya kepadaku, "Apakah kamu belajar memasak dari ibumu?", Aku menjadi kesal. Dan, itu saja cerita dariku."  (Rintaro)

 "Ternyata begitu......" (Rei)

 "Seperti yang kupikirkan, itu adalah cerita yang membosankan, kan? ......sepertinya kopinya sudah mulai dingin. Jadi aku akan membuat yang hangat lagi."  (Rintaro)

 Aku kemudian bangkit dari sofa, lalu mengambil cangkirku dan cangkir miliknya.

 Saat itu, untuk beberapa alasan, Rei tiba-tiba meraih lenganku dan membuatku duduk kembali di sofa.

 Dia menarik lenganku yang terlihat sedikit malu, kemudian memegangnya dan menariknya lebih dekat ke arahnya.

 "Aku tidak akan pergi kemana-mana."  (Rei)

 "......Apa yang sedang kamu bicarakan?"  (Rintaro)

 "Aku tidak akan meninggalkanmu, bahkan jika kamu menyuruhku untuk pergi. Aku tidak akan membuat Rintaro merasa kesepian."  (Rei)

 "Apa-apaan kamu, apakah kamu masih anak TK"  (Rintaro)

 Bertentangan dengan leluconku. Sebaliknya, Rei menatapku dengan wajah yang sangat serius.

 Apa dia serius tentang ini.

 Aku bertanya-tanya mengapa, gadis ini bisa begitu tulus tentang diriku. 

 Mau tak mau aku merasa diperlakukan dengan kasih sayang lebih dari sekadar pengasuh dan majikannya lagi, atau itu hanya imajinasiku?

 Tapi bagaimanapun, untuk saat ini――――

 "Terima kasih, Rei. Aku merasa sedikit lebih baik sekarang."  (Rintaro)

 "Begitukah. Kalau begitu aku merasa senang."  (Rei)

 Rei tersenyum, merasa lega.

 Ketika aku mendapatkan kembali ketenangan ku, aku menyadari betapa dekatnya dia denganku setelah sekian lama.

 Aku merasakan sensasi yang halus dan lembut di lenganku.
[TL: Hmmmm dapet bonus tuh]

 Itu tidak mengherankan. Karena, dia memegang dengan erat lenganku pada dirinya sendiri.

 Jadi mau bagaimana lagi.

 "...... Rei, bukankah sudah waktunya untuk melepaskan lenganku? "  (Rintaro)

 "Sudah kubilang aku tidak akan kemana-mana."  (Rei)

 "Kamu tidak perlu melakukan hal yang sangat dekat ini denganku! Aku adalah anak SMA yang normal, tahu!"  (Rintaro)

 "Nada yang aneh, menarik. Baiklah, karena aku tidak mau merasa gerah."  (Rei)

 Mungkin merasakan keputusasaanku dari nada bicaraku yang tidak jelas, Rei dengan lembut melepaskan lenganku.

 Itu tadi sangat berbahaya, karena itu sangat dekat.  Hatiku hampir meledak terlepas dari apa yang telah terjadi sampai sekarang.

 "Sepertinya. Aku sudah pernah memberitahumu tempo hari bahwa aku bertujuan untuk menjadi suami rumah tangga penuh waktu, kan?"  (Rintaro)

 "Ya, kamu pernah mengatakannya."  (Rei)

 “Itu adalah cita-citaku yang tumbuh dari kepergian ibuku. Aku tidak menyukai ibuku, tapi aku juga tidak menyukai ayahku yang mengabaikan kami. Aku tidak ingin menjalani kehidupan seperti ayahku! Akibatnya, aku memutuskan untuk menjadi orang yang berkebalikan dengannya."  (Rintaro)

 Aku sudah pernah mendengar bagaimana awalmulanya Rei menjadi seorang idol. 

 Jadi kupikir aku akan memberitahunya juga tentang impianku itu. 

 "Kamu bilang kamu menghormati orang yang bekerja keras untuk mencapai mimpi apa pun yang mereka miliki, tapi aku minta maaf karena motivasiku untuk mewujudkannya adalah...... hal yang sangat konyol."  (Rintaro)

 “Tidak masalah motivasi apa yang kamu miliki untuk memucu mimpimu. Pada akhirnya, ini tentang apakah itu dapat mendukung orang tersebut atau tidak sampai mereka mencapai impiannya. Jika masa lalu Rintaro membantunya berlari menuju mimpinya, maka aku pikir itu adalah hal yang bagus."  (Rei)

 "...... Kata-katamu itu memang sangat masuk akal, ya. Jadi sepertinya aku tidak bisa membantahnya."  (Rintaro)

 "Aku rasa sesekali aku harus menunjukkan bahwa aku adalah orang yang pintar."  (Rei)

 "Apakah masalah itu ada hubungannya dengan kamu menjadi pintar?"  (Rintaro)

 Ucapan tadi terdengar sangat lucu――――tidak, mungkin dia tidak bermaksud mengatakan hal yang konyol sama sekali, tapi itu membuatku tertawa tak terbahak-bahak. 

 Satu-satunya saat aku bisa tertawa seperti ini di luar keluargaku sendiri adalah saat aku bersama Yukio.

 Mungkin aku tidak sengaja sudah mulai membuka hatiku untuk Rei.

 Aku mempunyai firasat bahwa mulai sekarang, aku tidak akan bermimpi buruk lagi.

~•~


<<Sebelumnya|Semua|Selanjutnya>>


Jangan lupa untuk memberi reach dan komen kalian ya~
Dukung Kami

Related Posts