Apron no niau gal nante zuru i Volume 1 Chapter 2

 

Chapter 2: Dia Mulai Peduli


 Sekolah Shoichi terletak di daerah perumahan yang tenang.

 Area di depan stasiun berkembang dengan baik, tetapi selain itu, itu adalah lingkungan yang biasa sahja tanpa ada ciri yang sepesial. 

 Beberapa siswa menggunakan stasiun untuk pergi ke sekolah setiap pagi, dan memakan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke sana.

 Beruntung bagi Shoichi dan Amiru, jarak rumah mereka tidak terlalu jauh jadi mereka bisa berjalan kaki untuk pergi ke sekolah.

 Rumah Shoichi adalah rumah dengan terdapat empat kamar tidur, dan memiliki dua lantai yang agak besar dan terletak di daerah perumahan.

 Di depan pintu masuk. Amiru menatap rumah Kashima dengan mulut terbuka lebar dan memancarkan aura penasaran dari matanya.

 “Wah~ Sudah lama sekali aku tidak mengunjungi rumahmu! Itu masih sangat berbeda dari rumahku” (Amiru) 

 “Kamu tinggal di apartemen, bukan? Kupikir ruang kecil seperti itu lebih masuk akal dan lebih mudah dibersihkan. Selain itu, karena sudah tua dan ketinggalan zaman, itu lebih cenderung berhantu, yang membuatnya lebih berharga” (Shoichi) 

 “Ehh, aku tidak mau hantu-hantu itu keluar. Aku takut tinggal di sana” (Amiru) 

 "Apa yang kamu bicarakan? Kamu akan mendapatkan kesempatan unik untuk mempelajari ilmu gaib secara ilmiah. Kamu dapat memeriksa apakah itu benar-benar hanya ilusi psikologis atau apakah itu sesuatu yang nyata…” (Shoichi) 

 “Kamu selalu menyukai hal semacam itu, kan, Sho-chan?” (Amiru) 

 Setelah tertawa, Amiru tiba-tiba memiringkan kepalanya ke arah Shoichi.

 “Ngomong-ngomong, sepertinya tidak ada orang di rumahmu. Apakah Bibi atau Paman belum kembali?”

 “Ya, ibu dan ayahku pergi keluar negeri untuk urusan bisnis untuk sementara waktu sekarang. Jadi saat ini, aku sedang menikmati kehidupan yang nyaman sendirian” (Shoichi) 

“Hee~… Kalau begitu, itu artinya hanya ada kita berdua malam ini?” (Amiru) 

 "…Ya" (Shoichi) 

 Saat dia membuka kunci pintu depan, Shoichi membeku.

 Tentu saja, bukanlah ide yang baik bagi seorang pria dan seorang wanita yang sudah dewasa untuk berduaan pada larut malam.

 Jika di sekolah masih ada beberapa orang yang tersisa, tetapi saat ini, tidak ada yang tersisa.

 Akumembawanya ke sini secara mendadak, tapi setelah Aku pikir-pikir lagi ini adalah ide yang buruk...

 Dengan perasaan canggung, Shoichi menatap Amiru dan menemukannya menggaruk pipinya, lalu mengangguk.

 “Yah, terserahlah, maafkan aku mengganggu~” (Amiru) 

 "Apakah ini baik-baik saja?" (Shoichi) 

 Shoichi buru-buru mengikuti Amiru saat dia memutar kenop pintunya sendiri dan masuk ke dalam.

 Amiru melepas sepatunya di pintu masuk dan berjalan menyusuri lorong, tetapi kakinya berhenti di jalurnya pada suatu saat.

 “Eh…?” (Amiru) 

 "Apa yang salah?" (Shoichi) 

“Tidak ada 'Bean-chan'” (Amiru) 

“Bean-chan?'” (Shoichi) 

“Ingat mainan boneka anjing itu? Kamu memilikinya dan menaruhnya di suatu tempat sekitar sini” (Amiru) 

 Dia menunjuk ke sisi lorong dengan melambaikan tangannya.

 "Ah" Shoichi mengangguk.

 “Anjing kecil itu? Aku memberikan itu kepada kerabatku” (Shoichi) 

 “Eh! Kamu memberikannya?!” (Amiru) 

 “Iya, aku tidak akan menyimpan boneka binatang di usiaku saat ini. Itu sudah lama setelah aku masuk ke SMP” (Shoichi) 

 “Ehh, tidak mungkin… sudah lama aku tidak melihatnya, jadi aku sangat menantikannya” (Amiru) 

 Amiru mengerang kecewa.

 Kalau dipikir-pikir, gadis ini sangat menyukai anjing itu. Shoichi teringat, dan untuk beberapa alasan, dia merasa bersalah.

 Harusnya aku meninggalkannya untuknya?

 Tidak, sejak awal aku sudah menjaga jarak dari gadis ini. Jadi aku tidak punya alasan untuk memikirkan sampai sejauh itu. 

 Saat Shoichi sedang memikirkan hal ini, Amiru tiba-tiba mengangkat suaranya dengan curiga lagi.

 “Nee~ Sho-chan” (Amiru) 

 "Ada apa?" (Shoichi) 

 “Kamu tahu, lorong ini…” (Amiru) 

 "Lorong ini?" (Shoichi) 

 "Ya. Um, kamu tahu, aku hanya berpikir ini sedikit berdebu” (Amiru) 

 "Ah" (Shoichi) 

 Memang, jika yang dia katakan, ada lapisan debu yang tebal di lorong ini. 

 Shoichi mengangkat bahu.

 “Aku belum melakukan bersih-bersih rumah atau apapun… Mungkin akan sedikit berantakan, tapi bersabarlah” (Shoichi) 

 "Ya…" (Amiru) 

 Shoichi membuka pintu ke ruang tamu, melewati Amiru yang tertegun.

 Ruang tamu, ruang makan, dan dapur semuanya ada dalam satu ruangan, dan dia berencana untuk mengajari Amiru belajar menggunakan meja rendah dan sofa yang ada di ruangan ini. 

 "Masuklah" (Shoichi) 

 “……” (Amiru) 

 Amiru tercengang. Dan dia melihat sekeliling.

 Bertanya-tanya mengapa dia membeku dan tidak bergerak, Shoichi juga melihat sekeliling.

 Tidak ada yang aneh tentang itu, kecuali beberapa buku dan majalah berserakan dan beberapa pakaian tertinggal di mesin cuci yang sudah terlupakan.

 "Ah. Sepertinya ini terlihat sedikit berantakan. Beri aku waktu sebentar untuk membersihkannya” (Shoichi) 

 “……” (Amiru) 

 “Oh, di sana. Ada bantal di bawah majalah. Kamu dapat memindahkan majalah itu dan duduk di atas bantal itu. Jangan khawatir, majalah itu hanya sebagai penghalang, jadi kurasa tidak akan ada debu” (Shoichi) 

 “Ah, ya” (Amiru) 

 Amiru menganggukkan kepalanya dan melakukan apa yang diperintahkan Shoichi. 

 Untuk beberapa alasan, dia tampak sedikit tidak nyaman.

 Apa itu? Mungkinkah dia tidak suka pada warna bantalnya? Apa warna favoritnya sudah berubah? Aku yakin dia suka pink dulu.

 Ketika dia memikirkan hal ini, Amiru berkata kepadanya dengan suara agak suram, 

 "Um, Sho-chan" (Amiru) 

 "Apa ada masalah?" (Shoichi) 

 "Ada sesuatu yang lembek dan basah di tepi bantal ini" (Amiru) 

 “Kurasa aku menumpahkan sesuatu. Nah, kamu bisa duduk di tengahnya. ” (Shoichi) 

 “Hah~…” (Amiru) 

 Shoichi memiringkan kepalanya lagi pada kata-katanya, yang entah bagaimana kurang tajam daripada sebelum dia masuk, tetapi dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia memiliki hal-hal yang harus dilakukan saat ini.

Shoichi kemudian mengeluarkan perlengkapan belajarnya.

 “Kalau begitu, ayo kita kembali belajar lagi. Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah meninjau pelajaran geometri SMP… aku membutuhkan buku pelajaran SMP ku. Tunggu lah sebentar, aku akan mengambilnya dulu” (Shoichi) 

"Ya" Amiru mengangguk sambil menggeliat tidak nyaman.

○ ○ ○ ○ ○

 Cukup sulit untuk mengajari Amiru rumus menghitung luas suatu bangun.

 Namun, Shoichi dengan sabar mengajarinya.

 Untungnya, dia tidak kekurangan motivasi.

 Dia mengajarinya sedikit demi sedikit, dan sebelum dia menyadarinya, di luar sudah benar-benar gelap.

 “Baiklah, mari kita istirahat” (Shoichi) 

 “Yatta! Aku juga sudah sangat lelah" (Amiru) 

 Mengendurkan bahunya, Amiru merosot ke meja rendah – tetapi dia tiba-tiba mengerem di udara saat dia ingin mencoba melakukannya.

 Shoichi juga memperhatikan bahwa ada lapisan debu di atas mejanya. 

 Aku tahu seharusnya aku tadi sedikit membersihkan ini—tapi sekali lagi, Amiru adalah gadis SMA dengan kepribadian yang ringan, jadi kupikir dia tidak akan terlalu keberatan.

 Saat dia memiliki pemikiran yang agak berprasangka, tiba-tiba, perutnya bergemuruh.

 “Ini sudah larut malam. Kenapa kamu tidak makan malam di sini?” (Shoichi) 

“Ah, makan malam? Makan malam apa?" (Amiru) 

“Tunggu saja di sini. Aku akan memeriksanya terlebih dahulu” (Shoichi) 

“Ah, tunggu. Aku ikut juga…!?” (Amiru) 

 Wajah Amiru menegang saat dia dan Shoichi berjalan mengitari ruang tamu ke sisi lain meja dapur.

 Di gerobak dekat ruang makan, ada piring bernoda remah-remah dan wadahwadah cup mie yang ditinggalkan begitu saja.

 Ada sendok dan piring yang masih di wastafel juga.

 Bahkan tidak ada tanda-tanda piring itu sudah dicuci.

 “Um, ini, um…” (Amiru) 

 “Ah, ya. Hari ini bukan hari untuk mencuci piring. Aku mencucinya setiap tiga hari sekali." (Shoichi) 

 “……” (Amiru) 

 “Yang lebih penting, Amiru. Apa yang ingin kamu makan untuk makan malam? Rekomendasiku adalah ... Ah, jeli ini bagus. Ini bergizi dan tidak memakan banyak waktu. Jadi ini sangat efisien” (Shoichi) 
[TL/N: Jelly kayaknya sejenis puding/agar-agar]

 Mengatakan demikian, Shoichi mengeluarkan jeli suplemen nutrisi dari lemari es.

 Ketika Amiru menerima jeli, dia menatapnya dan bergumam pelan.

 “…Sho-chan, apakah kamu selalu memakan makanan ini setiap hari?” (Amiru) 

 “Ya, aku agak sibuk dengan studiku. Jadi aku tidak ingin menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memikirkan menu makananku” (Shoichi) 

 “Mmm, tapi yang kulihat ini hanyalah…” (Amiru) 

 “Ah, menurutmu makan malamku membosankan, bukan? Padahal tidak. Jelly punya koleksi rasa yang berbeda. Dan aku tidak hanya makan jelly, aku juga makan mie cup dan cornflakes secara bergiliran, jadi ada variasi yang bagus untuk dipilih…” (Shoichi) 

 Saat itu.

 Amiru, yang wajahnya menunduk, bergumam pada dirinya sendiri.

 "Aku sudah ...mencapai batasku" (Amiru) 

 "Ya?" (Shoichi) 

 “Aku sudah mencapai batasku! Aku dari tadisudah sabar, tapi saat ini NG, New Good!” (Amiru) 

 “O-Oi, apa yang kamu bicarakan? Ada apa dengan NG-nya? Bukankah seharusnya No Good?” (Shoichi) 

 Tapi Amiru tidak menjawab, malah mengumpulkan piring dan segera membawanya ke wastafel.

 Menyalakan keran, dia mengisi wastafel dengan air dan mencelupkan piring itu ke dalamnya.

 Kemudian, melihat sekeliling, "Itu dia!" dia berteriak dengan gembira dan mengeluarkan banyak kantong sampah dari kantong plastik yang tergantung di samping lemari.

 Dia mengambil satu dan melemparkan wadah mie cup ke dalamnya.

 Dia kemudian pergi ke ruang tamu dan mengambil sampah yang berserakan disana. 

 Seketika Shoichi terkejut.

 Dia terkejut karena tindakan Amiru yang lincah dan benar-benar berbeda dari suasana santai yang biasa dia lakukan.

 Saat dia selesai mengumpulkan sampah, kejutan dari situasi itu membawanya kembali ke dirinya sendiri. 

 “O-Oi, apa yang kamu lakukan di rumah orang lain…?”(Shoichi) 

Tapi Amiru berbalik dengan pipi menggembung.

 "'Apa yang kamu lakukan?' Itu tidak benar! Ruangan apa ini!? Sangat kotor dan berdebu… Setidaknya buanglah sampah pada tempatnya! Bagaimana jika kamu menemukan kecoak atau semacamnya!?” (Amiru) 

 “Ah, tidak, itu…” (Shoichi) 

 “Dan ada apa dengan semua jeli, mi cup, dan cornflake ini!? Kamu akan sakit karena itu! Itu tidak baik untuk nutrisimu, tahu!?” (Amiru) 

 “Tidak, itu sebabnya aku mendapatkan nutrisi dari jelly…” (Shoichi) 

 “Kamu harus makan makanan yang layak! Aku benar-benar tidak tahan lagi…” (Amiru) 

 Setelah Amiru selesai mengumpulkan sampah, dia kembali ke dapur dan membuka kulkas.

 Dia bergumam, "Ah, benar-benar tidak ada bahan yang bagus"

 Dia kemudian pergi untuk mencari notepad dan menulis di atasnya dengan pena.

 Merobek selembar kertas, dia menyerahkannya kepada Shoichi.

 “Ini dia!” (Amiru) 

 "Apa ini?" (Shoichi) 

 "Pergi beli, sekarang!" (Amiru) 

 “Be… beli?” (Shoichi) 

“Kupikir supermarket di dekat sini masih buka. Bibi memberimu biaya hidup, bukan? Seharusnya ada beberapa barang yang tersedia yang tidak terlalu mahal, jadi cepatlah!” (Amiru) 

 “Y-Ya!” (Shoichi) 

 Setelah menerima catatan itu, Shoichi melihat lagi pada catatan yang diberikan kepadanya.

 “300 gram daging babi (jenis yang dijual dengan harga khusus), bawang bombay (satu set isi tiga), bayam (yang paling murah)… Apa ini?” (Shoichi) 

 "Ayolah, ikuti saja itu dan beli!" (Amiru) 

 Kekuatan situasi membuat Shoichi berteriak "ya" lagi, dan dia segera mengambil tas belanjaannya dan berlari keluar rumah.

 Di supermarket asing, dia bertanya kepada petugas tentang ini dan itu, dan membeli barang-barang, yang sebagian besar adalah bahan-bahan, yang tertulis di catatan.

 Ketika dia kembali ke rumah, dia melihat sesuatu yang dia tidak dipercaya.

 “Ah, selamat datang kembali, Sho-chan” (Amiru) 

 Itu Amiru, yang berdiri di dapur, dan menyapa Shoichi dengan kata-kata ini.

 Ketegangannya tampaknya telah mereda, dan ekspresinya kembali santai, tapi itu tidak masalah lagi bagi Shoichi saat ini.

 Masalahnya adalah dia mengenakan celemek, yang ada di rumahnya, dan memegang pisau.

 Lengan bajunya yang longgar digulung dan dia sedang memotong daun bawang secara berirama di talenan.

 Uap mengepul dari panci di atas kompor.

 Penanak nasi listrik dicolokkan ke stopkontak terdekat.

 Semua peralatan ini adalah peralatan yang bahkan Shoichi, pemilik rumah saat ini, belum pernah menggunakannya sebelumnya, tetapi ketika Amiru menggunakannya, semuanya tampak jatuh pada tempatnya dan pas dengan sempurna.

 Dia masih terlihat flamboyan seperti sebelumnya, tetapi celemek dan pisaunya terlihat sangat cocok untuknya...

Shoichi tidak bisa menahan diri untuk tidak melihatnya.

Tapi Amiru tidak menyadarinya, dan setelah mengaduk panci dengan sendok, dia berbalik sambil tersenyum.

 “Aku senang Bibi meninggalkan nasi dan daun bawang. Aku juga menemukan pasta miso, jadi aku akan membuat sup miso dengan daun bawang. Kaldu supnya hanya kaldu biasa, tapi tunggu bebentar, oke? ” (Amiru) 

 “Ah, ya?” (Shoichi) 

 “Dan apakah kamu sudah membelikan belanja yang kuminta? Kalau sudah. Taruh saja di situ.” (Amiru) 

 Saat dia hendak meletakkan tas belanja di atas meja, Shoichi menyadari sesuatu.

 Bagian atas meja yang sebelumya berdebu sudah dibersihkan.

 Tidak, tidak hanya meja saja, tetapi juga ruang tamu dan lorong juga.

 Bahkan sudah tidak ada debu setitik pun di sini. 

 Melihat dari ruang tamu ke balkon, dia bisa melihat pakaian yang sudah dicuci sedang dijemur diluar. 

 Tidak mungkin… Dia menyelesaikan mencuci pakaian dan bersih-bersih saat aku sedang pergi ke toko, dan juga saat ini dia sedang memasak?

 Saat dia bergumam dalam hati, Amiru datang ke sisinya dan mengeluarkan beberapa daging babi, bawang, wortel, kentang, dan bayam.

 “Agak merepotkan, tapi mari kita buat semur daging dan bayam rebus” (Amiru) 

 “Ah, ya” (Shoichi) 

 Karena sejak dulu, itu adalah wilayah yang belum pernah terjamah oleh Shoichi. 

 Di penggorengan, dia menumis daging babi dan sayuran cincang, lalu menuangkan gula, sake masak, dan kecap di atas sayuran dan merebusnya.

 Sementara itu, dia merebus bayam, memerasnya, dan menambahkannya ke dalam kaldu dan bumbu.

 Sup miso dengan daun bawang sudah siap. 

 Setelah semuanya selesai, penanak nasi berbunyi, dan Shoichi menyajikan nasi putih di mangkuk yang telah diperintahkan Amiru untuk disajikan.

 Beberapa menit kemudian, dia duduk di meja tempat makanan telah ditata.

 Di seberangnya, Amiru, yang telah melepas celemeknya, juga duduk dan mengambil sumpitnya dengan senyum di wajahnya.

 “Itadakimasu” (Amiru) 

 “… Itadakimasu”(Shoichi) 

 Kemudian, Shoichi menikmati sesuap nasi putih dan semur daging. Ini sanagat lezat.

 Selanjutnya, dia mencicipi sup bayam dan miso. Itu juga sempurna.

 Sudah lama sejak dia makan malam sungguhan seperti ini.

 Entah bagaimana, itu membuatnya merasa hangat dan kabur.

 Pada saat itu, dia melihat Amiru sedang menatap wajahnya.

 "A-Ada apa?"(Shoichi) 

 “Mhmm, aku hanya ingin memastikan apakah itu cocok dengan seleramu atau tidak. ”(Amiru) 

 “Ah, itu, tidak apa-apa… Rasanya ini sangat enak kok."(Shoichi) 

 "Apakah begitu? Itu bagus kalau begitu” (Amiru) 

 Mungkin pada titik ini, Amiru akhirnya merasa lega dan mulai memakan makanannya sendiri.

 "Jadi kamu puas?" Dia bertanya dan Shoichi mengangguk.

 “Kurasa itu saja kalau begitu. Ah, ada lebih banyak daging rebus, jadi teruslah makan” (Amiru) 

 “Tidak, aku tidak bisa makan sebanyak itu…”(Shoichi) 

 “Tidak, karena kamu anak laki-laki, kamu harus makan dengan baik. Jika tidak, kamu tidak akan tumbuh” (Amiru) 

 Ketika Amiru mengarahkan jarinya ke arahnya, seolah memarahi seorang anak, Shoichi mengangguk dan berkata, "Ya"

 Ada apa dengan suasana yang berbeda dari Amiru tadi? Setelah mengatakan itu, dia seperti bukan seperti gadis kecil yang ketakutan yang dia ingat sat kecil.

 Ada sesuatu yang seperti rumah dan keibuan dalam dirinya—terus terang, dia seperti seorang ibu. Saat dia melihat dada Amiru naik turun dengan tangan di pinggulnya, Shoichi memikirkan hal ini dan terus membawa makanan ke mulutnya tanpa gangguan.

○ ○ ○ ○ ○

 Saat makan selesai, Amiru mencuci piring dengan cepat.

 Shoichi telah mengatakan dia akan mengurusnya, tetapi dia menolak dengan mengepakkan tangannya.

 “Aku akan mengurusnya. Jadi kamu istirahatlah, Sho-chan” (Amiru) 

 Dia mengedipkan mata padanya, dan tangannya sangat terampil, dia akan memperlambatnya jika dia membantunya.

 Berkat ini, hidangan selesai dalam beberapa menit, memberi Shoichi banyak waktu untuk bersantai di ruang tamu.

 Setelah itu, mereka melanjutkan sesi belajar mereka.

 Tampaknya makanan yang tepat sudah menenangkannya, dan Shoichi merasa bahwa dia mampu mengajar lebih efektif daripada sebelumnya.

 Berkat usahanya, dia berhasil membuat Amiru menyelesaikan salah satu masalah hanya dalam waktu sepuluh menit.

 “Baiklah, sepertinya sydah cukup untuk hari ini” (Shoichi) 

 “Ya, kita sudah belajar dengan waktu yang cukup lama. Aku merasa seperti aku telah belajar seluruh hidupku” (Amiru) 

 Amiru kembali ke dirinya yang ceria seperti biasanya, tersenyum kecut saat mengatakan ini.

 Karena sedikit penasaran, Shoichi bertanya padan Amiru yang saat ini sedang bersantai di meja rendah di ruang tamu.

 “Hei, kamu ternyata benar-benar pandai memasak ya. Apakah kamu melakukannya sepanjang waktu?” (Shoichi) 

 “…Ah, ya. Yah, aku suka melakukan pekerjaan rumah dan semacamnya” (Amiru) 

 “Ah, itu mengejutkanku. Padahal kamu tidak suka melakukan hal-hal ini ketika kamu masih kecil, bukan?” (Shoichi) 

 “Yah, sudah lama. Aku baru saja mulai melakukannya. Hari-hari ini, aku suka merawat orang-orang di sekitarku, bukan hanya diriku sendiri” (Amiru) 

 "Merawat…?" (Shoichi) 

 "Benar. Anak-anak tetangga, mereka suka saat aku membuatkan mereka manisan dan lainnya. Aku juga biasanya membersihkan kamar teman-temanku… Semua orang terlihat sangat senang, dan itu menyenangkan untuk dilihat” (Amiru) 

 Setelah mengatakan itu, Amiru tersenyum pada Shoichi dari posisi berbaringnya, hanya menatap wajahnya.

 “Sho-chan, sudah lama sekali aku tidak berbicara denganmu. Wajar jika kamu tidak tahu tentang hal-hal ini” (Amiru) 

 “Ya… kurasa begitu” (Shoichi) 

“Aku tumbuh dalam banyak hal. Aku tidak hanya bisa memasak dan bersih-bersih, tetapi aku juga sering melakukan mencuci pakaian dan berbelanja sendiri, dan aku suka melakukannya! Ngomong-ngomong, kata favoritku akhir-akhir ini adalah diskon tiga puluh persen!” (Amiru) 

 “Ah, itu…”(Shoichi) 

 Shoichi ingat bahwa pada siang hari, topiknya tiba-tiba beralih ke lobak.

 Amiru menunjukkan punggung tangannya. “Diskon 30% untuk lobak di X*X Supermarket!” tertulis di sana, sepertinya itu sebuah catatan.

 “Aku cenderung melupakan banyak hal, jadi ketika aku melihat pamflet untuk produk yang ingin kuingat, maka aku akan menuliskannya” (Amiru) 

 “Kebetulan, apakah kamu berencana membeli lobak hari ini? Yah, aku minta maaf kalau begitu” (Shoichi) 

 “Ah, tidak apa-apa. Itu bukan sesuatu yang benar-benar kuinginkan... Tapi jangan beritahu siapapun, oke? Agak memalukan memiliki catatan di tanganmu tentang penjualan” (Amiru) 

 "…Memalukan?" Shoichi memiringkan kepalanya.

 Itu pasti berbau kehidupan, tetapi dia berpikir bahwa itu masuk akal dan baik-baik saja.

 Namun, Amiru tampaknya sangat malu dan wajahnya merah padam, jadi dia meyakinkannya, "Aku tidak akan memberi tahu siapa pun"

Dia kemudian wajahnya tampak lega dan tersenyum. 

 “Terima kasih, Sho-chan, kamu baik sekali. Aku mencintaimu" (Amiru) 

 “Ah, ya” (Shoichi) 

 Kata "cinta" membuat Shoichi kaget sejenak, tetapi dia segera menyadari bahwa Amiru mengartikannya sebagai teman.

 Pada saat yang sama, dia terkejut dengan reaksi hatinya sendiri.

 Tidak, tidak, tidak, ada apa denganku? Meskipun kita sudah terasing, aku sudah mengenal Amiru sejak lama. Suasananya telah sedikit berubah, tapi… Tidak ada alasan bagiku untuk gugup!

 Dia hanya dikejutkan oleh kata-kata yang tidak dia pahami saja. 

 Itulah yang dia simpulkan, dan memutuskan untuk menerimanya.

 Pada saat itu, ekspresi wajah Amiru yang tadinya aneh berubah drastis, dan sekarang dia melihat sekeliling dengan tegas.

 “Tetap saja… Sho-chan, disini agak terlalu kotor” (Amiru)

 “Eh, ya? Tapi kamu baru saja membersihkannya untukku?” (Shoichi)

 “Itu hanya tindakan sementara. Aku perlu membersihkan lebih baik dan mengeluarkan semua debu dari tiap sudut. Bahkan perabotan harus dipindahkan dan dibersihkan. Jika kita biarkan seperti ini, ruangan ini akan dipenuhi serangga, dan jika itu terjadi, Sho-chan akan benar-benar sakit” (Amiru)

 Amiru menatapnya dan membuat mulutnya cemberut.

 Sekali lagi, dia dalam mode ibunya. 

 Ketika Shoichi mengangkat bahu, dia tiba-tiba mengatupkan kedua tangannya seolah dia mendapat ide bagus.
 “Ah, itu benar. Aku akan membersihkan rumah Sho-chan untuk sementara… Tidak, aku akan mengurus Sho-chan saja” (Amiru)

 "Apa?" (Shoichi)

 “Ya, sudah diputuskan, aku suka ide ini. Mulai sekarang, aku akan menjadi pengganti ibunya Sho-chan!” (Amiru)

 “T-Tidak, tidak, tunggu sebentar! Kamu tidak bisa membuat keputusan seperti itu! Aku tidak perlu kamu melakukan hal sejauh itu untukku!” (Shoichi)

 “Mou~ , Kamu tidak perlu malu, Sho-chan~ Aku suka mengurus orang, jadi aku akan melakukannya karena aku menyukainya. Lagipula, Sho-chan mengajariku belajar, jadi wajar bagiku untuk melakukan sesuatu sebagai balasannya, kan?” (Amiru)

 “Eh, Ah… Itu benar… Tapi” (Shoichi)

 “Baiklah kalau begitu, sudah diputuskan! Aku akan membuatkanmu makan malam lagi besok. Nantikan itu” (Amiru)

 “Ah, um…” (Shoichi)

 Dia bisa saja menolak, tetapi mengingat rasa makanan yang baru saja dia makan, Shoichi enggan untuk berpisah dengannya.

 Dapat dikatakan bahwa dia diberi umpan.

 Selain itu, seperti yang dikatakan Amiru sendiri, masuk akal baginya untuk berterima kasih kepada Shoichi atas bimbingannya.

 Y-Yah, itu memberi dan menerima... Seharusnya baik-baik saja.

 Sebagai imbalannya, dia akan melakukan apa pun yang dia bisa untuk meningkatkan nilainya.

 Ketika dia telah mengambil keputusan, Shoichi mengulurkan tangannya ke Amiru.

 “Baiklah, kita punya kesepakatan. Dan sebagai gantinya, jangan beri tahu siapa pun tentang ini. Karena agak tidak keren jika memiliki gadis yang seusia denganku yang merawatku” (Shoichi) 

 “Oke, aku juga suka mengurus rumah, tapi aku akan malu jika teman-temanku mengetahuinya. Jadi ini akan menjadi rahasia kita” (Amiru) 

 Amiru mengangguk dengan santai dan tersenyum bahagia.

 Dengan kuat dan hangat, mereka meremas tangan mereka.

 Dengan demikian, kehidupan mereka, yang seharusnya tidak pernah bersilangan lagi, mulai berpotongan sekali lagi dengan cara yang aneh.

○ ○ ○ ○ ○

~•~


Sebelumnya|Semua|Selanjutnya

Dukung kami

Related Posts